Kisah
menyemai cinta antara aku dan suamiku dimulai 12 tahun lalu saat pertama kali
kami berkenalan. Tidak pernah terlintas sedikit pun di benakku, kalau dia
yang akan menjadi teman hidupku. Aku menganggapnya teman biasa. Dia bekerja di
Ibukota Jakarta sedangkan aku bertugas di kota kecil di pulau Sumatera
membuat perkenalan dan pertemuan singkat kami berlalu begitu saja, tidak ada
kesan sama sekali. Komunikasi kami pun biasa, sekali-sekali dia menelepon dan
titip salam melalui temannya. Namun semua itu aku anggap bukan hal istimewa.
Enam
bulan setelah perkenalan itu, dia kembali ke kotaku dalam suasana dukacita.
Ayah yang dikasihinya telah duluan menghadap Yang Maha Kuasa. Aku turut
berbelasungkawa atas berpulangnya ayah tercintanya. Melihat kesedihan dan air
matanya, timbul belas kasihan dihatiku. Ketika dia bercerita, mengajak ngobrol
dan minta ditemani saat sedih seperti itu, aku tidak bisa menolak. Inilah awal
kedekatan kami. Hingga tiba waktunya dia kembali ke ibukota komunikasi kami
semakin lancar. Setiap hari saling menelepon, sms pagi siang sore, saling
berkirim surat, semua terasa indah. Kami saling jatuh cinta. Kami jadian, resmi
pacaran jarak jauh.
Enam
bulan kemudian dia berkunjung kembali. Hubungan kami semakin dekat. Dia semakin
intensif mendekatiku dan keluargaku. Kedua pihak keluarga pun senang dengan
hubungan kami, sangat mendukung dan berharap kami bersatu secepatnya. Kami
benar-benar saling jatuh cinta, saling menyayangi dan berharap melanjutkan
hubungan kami ke jenjang perkawinan. Puji Tuhan, beberapa bulan kemudian kami
mengikat janji setia di hadapan Tuhan disaksikan seluruh keluarga, dengan
upacara adat sesuai budaya didaerah kami.
Foto
Pernikahan
|
Dokumentasi Pribadi
Saat
itu kami mulai menyemai cinta dan berjanji sama-sama memupuk, menyingkirkan
rumput-rumput pengganggu, membuang hama penyakit agar cinta yang kami semai
tumbuh dengan subur.
|
Tahun-tahun
awal pernikahan adalah tahun-tahun sulit bagiku. Pekerjaan suamiku sebagai
seorang awak media menyebabkan dia sering pulang larut malam. Gajinya tidak
terlalu besar walaupun masih cukup bagi kami berdua. Keuangan keluarga kecilku
pas-pasan. Aku mulai bekerja walaupun awalnya hanya part time tetapi sangat
membantu. Dengan gaji berdua kami jadi bisa menabung.
Masa
pacaran yang hanya sebentar, itupun dijalani jarak jauh, membuat kami belum
saling mengenal satu sama lain. Perkenalan karakter diantara kami baru
dimulai sejak kami membangun rumah tangga. Cinta yang kami semai bersama
menghadapi banyak rintangan, duri dan onak berserakan di depan kami. Ego
masing-masing yang tinggi,mau menang sendiri, sifat manja, inginnya dimengerti
tetapi tidak mau pengertian terhadap pasangan.
Aku
sendiri belum mengerti sifat seorang laki-laki. Aku hanya ingin dimanja dan
didengarkan. Aku tidak peka dengan keadaan suamiku. Sering aku ajak suamiku
ngobrol, atau aku bercerita mengenai pekerjaanku pada saat dia juga sedang
lelah karena baru pulang kerja, stress mencari berita di lapangan dan nyetor
tulisan ke kantornya. Aku tidak peka kalau dia lelah. Sehingga dia
menanggapi ceritaku seadanya, menjawab ya ya saja tanpa ada komentar.
Keadaan
seperti ini membuat aku merasa dicuekin, tidak disayang, tidak diperhatikan dan
merasa suami mau menang sendiri karena tidak perhatian sama istri. Padahal aku
yang tidak tepat memilih waktu untuk bercerita.
Seiring
berjalannya waktu,ditambah dengan baca buku mengenai pernikahan, tips-tips dari
majalah dan melihat kehidupan rumah tangga orang lain, aku mulai mengetahui
bagaimana sikap seorang istri yang baik dan memahami suami. Suamiku juga
semakin dewasa dalam berpikir dan menyelesaikan masalah. Kami mulai
peka dengan pasangan masing-masing, bijak berbicara dan saling menghargai.
Riak-riak kecil dalam rumah tangga tidak pernah bisa ditiadakan,tetapi
masing-masing sudah mau mengalah.
Mengalah
untuk orang yang kita kasihi itu manis. Dengan mengalah kita akan menang
seperti pepatah, kalah untuk menang atau mundur satu langkah untuk maju dua
langkah. Melihat kita mengalah, pasangan akan lebih respect dan juga mau
mengalah. Saling pengertian mulai terjalin.
Tidak
terasa saat ini menjelang 11 tahun usia perkawinan kami. Tuhan sudah
mengaruniakan dua jagoan di keluarga kecil kami. Saat aku dan suami memandangi
kedua anak kami yang tengah lelap di malam hari, aku melihat senyum bahagia di
wajah suamiku. Kelelahan yang dia rasakan ketika bekerja seharian di luar rumah
seakan sirna ketika melihat putranya. Aku bangga kepada suami dan anak-anakku.
Setiap hari kami berharap menyemai cinta dan memupuknya agar selalu
subur. Berharap semakin hari semakin cinta dan selalu hangat satu sama
lain.